Nama Gelumbang yang merupakan nama sebuah Kelurahan di Kabupaten Muara Enim,
berada sekitar 70 km sebelah selatan dari kota Palembang.
Bercerita tentang leluhurnya, masyarakat Gelumbang semula berasal dari
masyarakat pendatang yang bertujuan untuk mengungsi atau mengembara menelusuri
sungai, ketika itu hubungan darat masih sulit untuk menembus daerah baru, jadi
mereka memanfaatkan jalur sungai yang mudah karena memang sudah tersedia.sungai
yang ditelusurin anak sungai Musi.
Sungai Musi yang panjang itu mereka telusuri kehulu dan setelah tiba di
salah satu anak sungai yang memiliki air jernih dengan kedalaman tak kurang
dari 7M, mereka terus menelusuri sungai tersebut (Sungai Belida) banyak ikan
dan tepian asri sehingga tak terasa telah jauh ke hulu anak sungai tersebut.
Konon masa Kerajaan Majapahit dusun Gelumbang belum ada masih merupakan
hutan belantaran tepat di hulu anak sungai itu dengan leber sekitar 70 M dan
dalamnya 7 M. sang pengembara yang menggunakan perahu Jukung, berlabu salah
satu pesisir sungai yang ketika itu belum tau apa nama daerah itu. Dengan
memanfaatkan sebuah tongak yang bernama Satang Bambu Manyan, setelah seorang penumpangnya
menancapkan Satang Bambu Manyan tersebut ke tepian tanah. Kemudian perahu
ditambatkan pada bambu tersebut.
Adapun perahu Jukung tersebut kiranya membawa serta seseorang bangsawan
yang bernama Raden Kuning beserta pengawalnya. Mereka menetap beberapa lama
disana. Singkat kata beberapa purnama kemudian,Raden Kuning serta beberapa hari
selanjutnya Raden Kuning juga meninggal dunia dikarenakan penyakit yang sama
dan dikebumikan di daerah itu juga. Kini daerah itu dikenal dengan Keramat
Talang Manyan. Selanjutnya berapa pengawal kembali menuju kehilir dengan
membawa kabar meninggalnya Raden Kuning dan daerah yang makmur serta daerah
yang asti tadi.
Kabar daerah yang asri dengan tanah yang subur serta memiliki sungai
yang berisikan berbagai ikan tersiar sudah. Pada tahun 1452,tepatnya tanggal 3
juli 1452,hari minggu datanglah sepasang suami istri beserta para kerabatnya
tiba di sebelah hulu Talang Kerabat Manyan.
Rombongan ini diketahui oleh seseorang bangsawan bernama Raden Wihardjo
(Mardin) dan istrinya bernama Huminah menetap disana, yang kini bernama daerah
Pengkalan Kuta.daerah yang subur itu lambat laun ramai dan menjadi tempat
bercocok tanam yang menjadi daerah pasokan sayur mayur dan ikan untuk di daerah
sebelah hilir. Dari beberapa pondok dan rumah dan kian lama kemudian menjadi
ramai karena perkawinan dan keturunan berkembang.
Suatu ketika Mardin dan istrinya Huminah bersama beberapa kerabat dusun
bermufakat untuk mambuat perkampungan yang lebih luas. Daerah yang mereka
tempati, ketika itu sudah mulai sesak. Hasil mufakat untuk membangun dusun di
daerah darat lagi, namun karena daerah yang dituju ada di sembarang sungai
diputuskan untuk membuat perahu besar.
Perahu dibuat satu khususnya untuk keperluan Raden Wihardjo beserta
keluarganya dan beberapa perahu kecil yang dibuat dari balok kayu.kayu yang
diperlukan adalah kayu Tenan berdiameter tidak kurang dari 1 M dan panjang 7
Depa.
Berkat kegigihan dan gotong royong mereka bekerja sama, akhirnya jadilah
sebuah dusun dan memiliki tempat untuk menjual hasil buminya maupun karya
lainnya berkat kepemimpinan Mardin dusun itu menjadi nama Gelumai, dan tempat
mereka semula diberi nama Pangkalan Kuta.Dusun baru itu kian lama kemudian
terkenal namanya dan ramai dikunjungi pedagang. Terbukti dengan silih berganti
datangnya masyarakat dari beberapa tempat untuk menetap di dusun Gelumai.
Pedagang dari Kayu Agung dengan menggunakan perahu Kajang datang kesan
berdagang alat rumah tangga terbuat dari tanah liat. keran, periuk, kendi,dan
lain-lain.
Pedagang dari Palembang banyak membawa garam, tembakau, dan alat
berburu lainnya. Kegiatan berikut berlangsung sacara barter barang maupun
menggunakan alat tukar lainnya seperti kulit dan daging hewan buruan ke dusun
Gelumai.
Dari perkawnanistri Raden Wihardjo (Huminah) melahirkan seorang anak
laki-laki bernama Raden Djakso Wihardjo hingga dusun selesai di bangun Raden
Djakso Wihadjo sering sakit-sakitan hingga ia beranjak usia remaja.
Sahdan cerita dari keadaan Raden Djakso maka atas nasihat dan petuah
masyarakat nama Raden Djakso Wihardjo dinyatakan tidak sepadang dengan raga
putra tunggal Raden Wihardjo. Lalu diubahlah nama tersebut dengan nama yang
diyakini akan tuah baginya, yaitu Raden Kemas Perdede.
Pemudah gagah yang menjadi idaman para perawan di masa cerita itu serta
harapan bagi desa Gelumai,kiranya yang maha kuasa berkehendak lain, Raden Kemas
Padede harus menjadi anak yatim.hal ini karena ayah terkasih raden wihardjo
meninggal dunia konon katanya Raden wihardjo I tepi sungai dimana mereka
bermukim pertama kali.
Berlangsung beberapa purnama kemudian ibu tercinta Huminah meninggal
dunia dan dimakamkan disisi makam Raden Wiharjo. Disuatu pertengahan
tahun,tepatnya 3 purnama setelah kepergian orang tuanya Raden Kemas Pardede
terbetik inginnya yang amat sangat akan kerinduhan pada kedua orang tuanya.
Bukan tanpa alasan mengapa ia ingin kesana?. Tak lain karena dia mendapat
firasat buruk akan keadaan makam orang tuanya. Setelah mendapat restu dari
pemuka adat masyarakat di sana, bertolak ia kesebrang untuk berziarah yang
dilepas para pengawas dusun. Bergayung menuju seberang.
Ditengah perjalanan tiba-tiba turun hujan yang sangat deras disertai
angin kencang dan suara guntur bergemuruh yang diawali kilat maupun petir.
Raden Kemas Wihardjo pantang surut akan niatnya.kekhawatiran akan makam
orang tuanya ia kiat gigih mendayung mendayung sampan untuk melanjutkan
perjalanan.
Hujan yang tak kunjung reda malah kian deras dan akhirnya air sungai
meluap tinggi dalam waktu singkat. Banjir melanda dusun Gelumai.dan demikian
halnya pangkalan kuta maupun kedua makam orang tuanya hilang ditelan banjir.
Tampak dari kejauhan Raden Kemas Pardede menyaksikan makam orang tuanya disapu
oleh arus gelombang besar yang tiba-tiba muncul dari sungai itu dengan sekuat
tenaga Raden Kemas Padede berusaha melawan arus gelombang tersebut.
Perjuangan demi perjuangan untuk merengkuh dayung yang merenpa perahunya
akibat gelombang yang bergulung-gulung itu, namun apa keyataannya sesampai
disebrang Raden Kemas padede tak lagi menemukan makam orang tuanya. Tanah yang
semula tempat makam itu telah menjadi rata akibat sapuan gelombang dasyat
tadi,layaknya tak ada apa-apa disitu. Kejadian yang sangat dramatis dalam tempo
singkat itu menjadi tanda Tanya besar bagi masyarakat ketika itu.
Demikianlah
Raden Kemas Padede hanya dapat pasrah dengan apa yang terjadi. Peristiwa itu
menjadi buah bibir dan kenangan tersendiri bagi masyarakat Gelumai.sebelum
wafat Raden Kemas Padede berwasiat kepada para pemuka adat saat itu, agar kelak
nama gelumai diganti menjadi Gelumbang untuk mengenang hilangnya makam orang
tuanya dan sekaligus tokoh berjasa akan dusun itu. Kata yang punya cerita konon
makam Raden Kemas Padede terletak dibawah balai desa gelumbang saat ini dan
makam Raden Wihardjo beserta istrinya Huminah terletak di belakang rumah mantan
pesirah Gelumbang.
Leave your comment
Post a Comment